Saturday, May 23, 2009
Thursday, May 14, 2009
Kerupuk Padang Pasir dari Kediri
sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0101/11/jatim/kriu19.htm >Kamis, 11 Januari 2001 "Kriuk"..., Inilah Kerupuk Padang Pasir dari Kediri
Entah apa nama yang pas untuk kerupuk tersebut. Namun, yang pasti, usaha kerupuk padang pasir ini telah menjadi mata pencarian bagi ribuan warga Bulusari. Sehingga, desa itu bisa disebut sebagai pusat produksi, sekaligus pusat pemasaran kerupuk padang pasir. "Kalau mulainya ya sejak dulu, tahun 1970-an. Tetapi sesudah itu ada masa-masa surut. Baru setelah 1980-an, bisnis ini bergairah lagi, karena warga sini mulai serius menggarap bisnis ini," kata Choiri (50), salah seorang usahawan kerupuk di kediamannya. Ia bersama anaknya, Sonhaji (30), menggerakkan usaha kerupuk padang pasir dengan mempekerjakan tujuh orang karyawan. Sonhaji mengatakan, di Bulusari ada sekitar 500 rumah yang memproduksi kerupuk tersebut. Dengan demikian, dari usaha kerupuk yang rasanya asin itu, Bulusari mampu menyerap 3.500 tenaga kerja. Tujuh orang yang bekerja di rumah itu, masing-masing bertugas mengadoni tepung ketela, mengiris ketela matang menjadi bentuk bulat kecil-kecil, menanak hasil irisan, dan menjemur hasil tanakan itu di halaman. Setelah dimasak dengan pasir, kerupuk rasanya asin. Orang sering memakannya sebagai lauk, atau bersamaan dengan makan rujak. Kerupuk ini juga enak jika dimakan dengan sambal rujak. ***Setelah kerupuk itu kering dan siap digoreng, orang juga tak perlu menggoreng dengan minyak. Cukup dengan pasir. "Memang butuh alat khusus untuk menggoreng dengan pasir ini. Tetapi setidaknya, karena menggorengnya dengan pasir, kerupuk ini banyak dicari orang saat krisis ekonomi yang lalu. Ketika harga minyak melonjak tinggi itu lho," kata Sonhaji. Dari bisnis ini, Sonhaji mengaku dapat meraih untuk Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per kuintal. Sehingga, jika rumah itu bisa memproduksi kerupuk sebanyak empat kuintal sehari, maka untungnya antara Rp 60.000 sampai Rp 80.000. Dengan penghasilan sekian itu, mereka mampu menggaji karyawannya sebesar Rp 6.000 per hari, di luar makan siang dan rokok. Keuntungan itu juga termasuk besar, jika dilihat dari pengadaan tepung ketela yang harga pasarannya hanya Rp 1.400 per kilogram. ***Di rumahnya bekerja sekitar sepuluh karyawan, yang sebagian besar berasal dari desa lain di sekitar Bulusari. Tiap hari,-jika seluruh pekerjanya hadir-, ia bisa membuat lima kuintal kerupuk. Per kuintalnya, si empunya tepung memberi upah Rp 50. Ia mengaku, bekerja untuk usaha kerupuk ini lebih enak daripada bertani di sawah. Pasalnya, berbisnis kerupuk bisa dilakukan dengan tetap berada di rumah. Sehingga tidak membutuhkan biaya transportasi, dan dapat terus berkumpul dengan keluarga. Namun, Jubari juga mengatakan, berbisnis kerupuk padang pasir harus hati-hati. Ia pernah rugi besar, ketika tepung yang diterimanya dari pemberi order tidak diteliti secara hati-hati. Ternyata tepung itu bermutu buruk, sehingga kerupuknya pun bermutu rendah. Mereka sering cemas dengan datangnya musim penghujan. Hujan membuat kerupuk sulit kering, sehingga butuh proses lebih dari sehari untuk mengeringkannya. Choiri dan Jubari melukiskan, kerupuk padang pasir Kediri telah dipasarkan ke Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Sragen, sampai sejumlah kota di Kalimantan. Selain, tentu saja, kota-kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Ngawi, Madiun, Jombang, dan sebagainya. (p01) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar